back | |
Serambi DEPAN |
PadepokanVirtual Surabaya Based Virtual Life-long Learning Environment |
Senin 10 Mei 1999 |
Kompas |
DENGAN tulisannya yang berjudul Antara Bung Karno dan Pak Harto (Kompas, 22 Februari 1999) dr Sulastono (mantan Ketua PB HMI) membuat perbandingan antara dua mantan presiden kita, khusus dilihat dengan kacamata politik. Tulisan ini sekilas ingin membandingkan kedua tokoh tersebut sebagai pendidik.
Pada dasarnya setiap pemimpin, disadari atau tidak, pasti menampilkan dirinya sebagai pendidik atau lebih tepatnya sebagai guru, yakni tokoh yang digugu lan ditiru (diikuti dan ditiru). Bung Karno, demikian juga Pak Harto, secara langsung maupun tidak, pernah mendidik kita, rakyat Indonesia. Lebih-lebih lagi semasa kepemimpinan beliau keduanya menjadi tokoh sentral di negara kita.
Sebagai "Pemimpin Besar Revolusi" dan sebagai "Bapak Pembangunan" keduanya menjadi suri teladan bagi rakyat. Mungkin saja keduanya belum pernah jadi guru yang berdiri di depan kelas, tetapi lewat pikiran-pikiran dan - terutama - lewat sikap beliau berdua kita memperoleh pelajaran yang sangat berharga. Yang dimaksud sikap tentu saja mencakup hal yang sangat luas, mulai dari cara mengambil keputusan, penampilan mereka di depan publik, cara berbicara dan bahasa yang digunakan, sampai kehidupan pribadi beliau-beliau itu.
Posisi Bung Karno sebagai guru lebih diperkuat lagi dengan terbitnya buku-buku yang memuat pikiran dan pandangan hidup beliau, antara lain Sarinah, Di Bawah Bendera Revolusi, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia dan lain-lain. Dengan demikian Bung Karno meninggalkan warisan yang monumental. Tidak cukup berhenti sampai di situ saja. Bung Karno secara langsung pernah jadi praktisi pendidikan, minimum ketika beliau dibuang ke Bengkulu. Di sana beliau pernah jadi Ketua Majlis Pengajaran Muhammadiyah.
Meskipun demikian masa jabatan Pak Harto yang kira-kira sepuluh tahun lebih lama daripada Bung Karno, merupakan kelebihan tersendiri pada Pak Harto sebagai guru. Jejak didikannya membekas cukup dalam di hati rakyat. Sikap hati-hati Pak Harto misalnya terlihat pada setiap upacara resmi atau semi resmi beliau selalu berpidato dengan teks. Jadi beliau bukanlah tergolong pemimpin yang asbun.
Berdasar patokan itu bisa kita ketahui kelemahan Bung Karno. Tidak ada seorang pun yang meragukan kehebatan Bung Karno sebagai pejuang kemerdekaan. Beliau pula pengobar semangat untuk bersatu dan berjuang mengusir penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia. Akan tetapi sesudah kemerdekaan berhasil diraih, keadaan cukup aman dan beliau tampil sebagai orang nomor satu di negara ini, ternyata beliau tidak bisa mengubah pola kepemimpinannya. Beliau masih terpaku pada "kurikulum" lama. Perhatiannya masih saja tercurah pada imperialisme, kolonialisme, exploitation de long par long, lalu pada proyek Nekolim, ganyang Malaysia dan semua bentuk kesadaran berpolitik yang berbau kiri. Masalah perekonomian hampir tidak tergarap. Akibatnya tidak teredam pertanyaan yang hidup di kalangan rakyat lapisan bawah: "Kapan berakhirnya merdeka?". Kemerdekaan tidak membuahkan kesejahteraan bagi rakyat. Zaman penjajahan malah disebut sebagai "zaman normal". Padahal yang tertuang dalam "kurikulum" sangat jelas: "... untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ..." (alinea keempat UUD '45).
Lain halnya dengan Pak Harto. Sebagai "guru" pada masa kemerdekaan beliau patuh pada kurikulum yang dijabarkan dalam bentuk GBHN. Urusan politik diabaikannya. Karena itu tidak mengherankan bila pemerintahannya mengarah pada peningkatan taraf hidup rakyat. Prasasti pembangunan yang dibubuhi tanda tangan Pak Harto pun bermunculan dan tersebar di seantero Indonesia.
Namun toh keduanya sebagai "guru" punya perasaan, yakni dalam hal "gaya mengajar". Baik Pak Harto maupun Bung Karno tergolong guru yang keras kalau tidak hendak dikatakan kejam. Murid-murid yang bandel, tidak ada ampun, langsung dikeluarkan dari kelas, tidak boleh mengikuti belajar-mengajar. Tidak perduli kawan seperjuangan, apalagi cuma kenalan. Bahkan mantan atasan sekalipun yang dinilai bisa mengganggu ketertiban kelas, disingkirkan. Nama-nama berikut ini hanya sebagian saja di antara mereka yang disingkirkan oleh Pak Harto: HR Darsono, AJ Mokoginta, M. Yasin, Ali Sadikin dan - yang paling spektakuler - AH Nasution. Adapun mereka yang merasakan betapa kerasnya gaya mengajar Bung Karno antara lain: Sutan Sjahrir, Mochtar Lubis, Isa Anshari, Hamka dan lain-lain.
Putra-putri beliau tumbuh menjadi tokoh secara alamiah. Sekurang-kurangnya dua di antara mereka menjadi orang besar di bidang yang berbeda. Guruh Soekarnoputra sebagai koreografer patut mendapatkan acungan jempol. Sedangkan Megawati Soekarnoputri tampil sebagai politikus. Sungguh pun masih berada di balik bayang-bayang kebesaran sang ayah, tetapi jelas Mbak Mega bukan jenis pemimpin karbitan. Adapun putra-putri Pak Harto hampir semuanya menjadi konglomerat dengan bau nepotisme yang menyengat. Memang Hutomo Mandalaputra alias Tomy dikenal juga sebagai pembalap dan Bambang Trihatmodjo dikenal sebagai petembak, tetapi prestasi mereka masih jauh di bawah putra-putri Bung Karno.
Sungguhpun demikian kita jangan buru-buru menjatuhkan vonis bahwa Pak Harto sebagai guru lebih jelek daripada Bung Karno. Mengapa? Pada masa kepemimpinan Bung Karno kondisi negara benar-benar memprihatinkan. Perekonomian pada saat itu jauh di bawah kondisi masa Orba. Mana mungkin dalam situasi semacam itu seorang pemimpin bisa memperkaya diri lewat korupsi? Jadi kesederhanaan Bung Karno dalam hal harta tidak otomatis identik dengan kebersihan pribadinya. Yang jelas pada saat semacam itu Bung Karno memperlihatkan keserakahannya di bidang seks. Menjelang dan bahkan sesudah berumur enam puluh beliau mengawini banyak wanita, termasuk yang masih berusia sangat muda. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan rumah tangga beliau. Bukan mustahil tampilnya dua putra-putri beliau sebagai tokoh bukanlah hasil didikan beliau secara langsung, melainkan berkat pergumulan mereka secara pribadi dengan tantangan-tantangan yang mereka hadapi.
Memang dalam hal pembinaan keluarga mungkin Pak Harto bisa dikatakan lebih sukses. Siapa The First Lady pada masa kepemimpin Pak Harto jelas sekali. Pada momen-momen yang penting Pak Harto selalu didampingi oleh Ibu Tien. Tidak demikian halnya pada masa Bung Karno. Peran Ibu Tien Soeharto sebagai Ibu Negara sangat dirasakan oleh masyarakat. Bahkan konon "sang permaisuri" ini sering ikut campur dalam menentukan kebijaksanaan Pak Harto sebagai presiden. Kekompakan Pak Harto dengan Ibu Tien nampak jelas pada penampilan putra-putri beliau sebagai pengusaha-pengusaha yang kaya-raya. Sebaliknya curahan kasih sayang Pak Harto dan Ibu Tien kepada putra-putri beliau telah menjadi preseden buruk bagi para pejabat, baik di pusat maupun di daerah. Putra-putri pejabat seolah-olah harus jadi orang penting dan kaya-raya!
Dalam pada itu masyarakat luas tidak banyak tahu tentang prestasi putra-putri baik Bung Karno maupun Pak Harto dalam hal pendidikan formal mereka. Yang jelas tidak seorang pun di antara mereka tampil sebagai tokoh di bidang ilmu dan teknologi. Konon hanya seorang putri Pak Harto saja yang berhasil menyelesaikan studinya sampai jenjang S1. Padahal kesempatan dan fasilitas sangat terbuka bagi mereka.
Ah, memang sangat sulit untuk menjadi guru yang baik bagi dua ratus juta rakyat Indonesia.
(SN Ratmana, pensiunan pengawas SLTA Kanwil P dan K Jateng untuk Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. )