back
Serambi MADURA https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

iptek
Kamis, 03 Agustus 00
KOMPAS


Gender Bukan Konsep Barat

Jakarta, Kompas

Gender bukan merupakan konsep Barat. Konsep itu berasal dari konstruksi linguistik dari berbagai bahasa yang memberi kata sandang tertentu untuk memberikan perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Konstruksi linguistik ini kemudian diambil oleh antropolog menjadi kata yang hanya bisa dijelaskan, tetapi tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Dr Yulfita Rahardjo, ilmuwan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menegaskan hal ini dalam acara "Sosialisasi Keadilan dan Kesetaraan Gender" bagi Pimpinan Media Cetak di Jakarta, Rabu. Sebagai narasumber lainnya adalah Dr Ade Armando, pakar Ilmu Komunikasi dari Universitas Indonesia.

"Seperti halnya kata "poliandri" dan "poligami" yang tidak ada padanannya dalam Bahasa Indonesia," lanjut Yulfita. "Gender mengacu pada peran dan tanggung jawab untuk perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan oleh suatu budaya; jadi bukan jenis kelamin yang mengacu pada perbedaan ciri biologis."

Yulfita menandaskan, gender menjadi isu karena banyak orang mengacaukan pemahaman antara perbedaan peran gender dengan perbedaan jenis kelamin. Kesalahan ini berimplikasi terhadap hubungan (gender) yang timpang antara laki-laki dan perempuan, dan pengembangan kualitas hidup yang timpang antara kedua jenis kelamin itu.

"Banyak orang mengacaukan masalah keadilan dan kesetaraan gender sebagai usaha perempuan untuk menyaingi laki-laki," ujar Yulfita. "Padahal maksud keadilan gender adalah perlakuan yang adil yang diberikan kepada perempuan mau pun laki-laki-laki. Dalam banyak kasus, perlakuan tidak adil lebih banyak menimpa perempuan baik di rumah, di tempat kerja mau pun masyarakat."

Yulfita memberi contoh, ketika pertama kali bekerja sebagai peneliti di LIPI, perempuan peneliti hanya dua, Mely G Tan dan dia sebagai yunior. "Saat itu penelitian masih diasumsikan sebagai pekerjaan laki-laki," katanya.

Saat ia kembali dari tugas belajar untuk menyelesaikan MA-nya, jumlah perempuan peneliti sudah naik menjadi sekitar sepertiga dari seluruh peneliti yang ada. Ketika kembali dari tugas belajar untuk memperoleh PhD-nya, jumlah peneliti perempuan dan laki-laki sudah mencapai 1:1.

Contoh ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender tampak di bidang eksekutif, yudikatif, dan legislatif, di mana persentase perempuan sangat kecil dibandingkan populasi penduduk berkelamin perempuan. Dalam realitas sosial, tampak antara lain dari tingginya angka kematian ibu melahirkan (MMR).

"MMR di Indonesia masih tertinggi di ASEAN," ujar Yulfita yang prihatin dengan situasi di Indonesia yang belum bergerak jauh setelah Konferensi Perempuan di Mexico City lebih 25 tahun lalu di mana dicetuskan pemberdayaan perempuan melalui konsep Women in Development (WID)

Sosialisasi Media Massa

Ketidakadilan gender tercipta karena hubungan gender yang timpang dan diskriminasi gender. Dua hal itu, seperti ditegaskan Yulfita dikonstruksikan oleh budaya dan dilembagakan. "Media massa turut mensosialisasikan dan melanggengkan ideologi yang timpang dan diksriminatif terhadap perempuan itu," Ade Armando menambahkan.

Ditegaskan, media massa di Indonesia masih belum memiliki kepekaan gender. Ini tampak dari pemilihan angle dari suatu berita dan diksi yang digunakan dalam penulisan berita khususnya yang menyangkut ketidakadilan terhadap perempuan.

Menurut Ade, situasi ini tak hanya disebabkan oleh sifat industri media massa yang kapitalis-patriarkhis, tetapi terutama disebabkan oleh sosialisasi ideologi patriakhi yang sudah mendarah daging; yang menyebabkan ketidakberanian mengubah wacana, karena ujung-ujungnya juga berdampak secara ekonomis pada perusahaan media massa itu. (mh)

Berita iptek lainnya: