back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

KOMPAS
DIKBUD - Jumat, 08 September 00

Dari Bias Gender Menuju Keadilan Gender

SEORANG panelis, termasuk "feminis" dari UGM, membuka presentasi dengan contoh kasus dari sebuah acara televisi. Ada pertanyaan, andaikan Anda dilahirkan kembali, apakah ingin terlahir sebagai perempuan atau laki-laki? Itulah salah satu pertanyaan Tantowi Yahya kepada salah seorang peserta Kontes Putri Indonesia. Pertanyaan tersebut mengandung masalah keadilan gender, yang selama ini masih dirasakan timpang dan cenderung merugikan perempuan.Tidak semua orang akan menjawab seperti salah satu peserta Putri Indonesia, yang menginginkan tetap sebagai perempuan. Survei yang dilakukan pada sekelompok guru di Yogyakarta dan survei yang dilakukan pada mahasiswa di Jepang, menunjukkan ada yang menginginkan perubahan kelamin. Bahkan keinginan untuk mengubah kelamin lebih banyak pada kelompok perempuan daripada laki-laki. Hal itu mengisyaratkan menjadi laki-laki memang lebih enak.

Ketika Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri hendak mencalonkan diri menjadi presiden, banyak orang menentang hanya karena dia perempuan. Ibu Negara Sinta Nuriyah saat membuka seminar tentang perempuan di Yogyakarta Juli lalu menyatakan, pemahaman agama yang keliru menimbulkan penderitaan bagi perempuan.

Pemahaman keliru tentang perempuan (bias gender) itu tidak hanya terjadi dalam masyarakat, tetapi juga-malah terkesan "dipelihara"-dalam buku-buku pelajaran di sekolah. Sering dijumpai gambar ilustrasi dalam buku pelajaran, yang menyapu atau mencuci pasti seorang ibu, sementara di suasana kantor gambarnya harus seorang bapak.

Banyak buku pelajaran memanipulasi kenyataan peran perempuan. Misalnya, meskipun dalam masyarakat tak ada lagi soal dengan dokter laki-laki atau perempuan, dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia profesi ini selalu diacu ke laki-laki. Dalam soal hak milik, seperti terdapat dalam buku matematika, perempuan tak punya hak milik tanah. Padahal kenyataannya perempuan punya hak milik tanah. Penanaman posisi yang keliru demikian (bias gender) diacu oleh peserta didik perempuan maupun laki-laki sebagai hal yang wajar. Akibatnya ketidakadilan gender terus berlangsung sampai sekarang.

Ekstrakurikuler di sekolah pun dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki diberi ekstrakurikuler silat, dengan harapan laki-laki lebih percaya diri kelak jika jadi pemimpin. Sementara perempuan diberi ekstrakulikuler memasak atau menari, karena mereka diharapkan kelak menjadi penghibur selain akan menjadi ibu rumah tangga.

Sayang di kalangan perempuan sendiri belum ada kesatuan sikap. Lewat organisasi perempuan, seperti Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau Dharma Wanita, mulai dari tingkat kabupaten sampai tingkat rukun tetangga (RT), perempuan dianggap sebagai pelengkap, pendukung bapak-bapak, konco wingking (teman di belakang) bapak-bapak.

***

BEGITULAH kehidupan bias gender yang menekan perempuan muncul di berbagai bidang kegiatan. Di lingkungan politik, agama, pendidikan dan organisasi, bahkan sampai pada kehidupan rumah tangga perempuan tetap ditempatkan sebagai orang nomor dua. Secara global, domestikasi perempuan dilakukan oleh dua kekuatan, yakni agama dan kekuasaan.

Dalam hal ini disarankan perlunya diselenggarakan keadilan gender dalam lingkungan sekolah, rumah tangga dan masyarakat. Ketidakadilan gender yang terjadi pada pendidikan formal di sekolah, seringkali tidak disadari para pendidik, juga para murid sendiri. Mereka tidak mengetahui dan tidak memperhatikan apakah buku-buku pelajaran yang mereka pakai dan diwajibkan dipakai, benar-benar adil gender.

Begitu juga, apakah kurikulum yang diterapkan, termasuk ekstrakurikuler, perempuan diberlakukan adil? Ketidaktahuan guru dapat dipahami karena selama ini tidak banyak yang melakukan penelitian terhadap buku pelajaran ataupun kurikulum pendidikan yang diterapkan, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah.

Ketidaktahuan guru ataupun orangtua juga dapat dipahami mengingat konsepsi gender masuk ke Indonesia baru sekitar tahun 1990-an. Konsep gender yang sering dicampuradukkan dengan feminisme, relatif barang baru. Ketidakpekaan guru, termasuk juga guru perempuan terhadap kemungkinan terjadinya ketidakadilan gender di sekolah juga dapat dimengerti, karena selama ini tidak ada keberanian mendobrak kemapanan yang ada.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan formal di sekolah ialah, jangan sampai guru atau pendidik berpikiran mana yang pantas dikerjakan oleh perempuan. Keduanya harus diberi akses sama, dan berpikir bahwa keduanya adalah potensi sumber daya yang sama. Penelitian yang dilakukan di Cina, Amerika Swedia, dan Jepang, menunjukkan bahwa perempuan Swedia memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi karena di negara itu telah diterapkan pendidikan yang berkeadilan gender.

Reformasi terhadap konsep, sistem dan praktik (praksis) pendidikan formal yang paham gender perlu segera dilakukan. Momentum reformasi diharapkan bisa dimanfaatkan untuk mempercepat revisi buku pelajaran yang belum berkeadilan gender. Dengan ini, pendidikan dapat digunakan untuk mengubah persepsi yang kurang benar terhadap sumber daya perempuan dan sumber daya laki-laki.

Diperlukan pula mata pelajaran atau pengajaran tentang ekonomi kerumahtanggaan, yang diberikan kepada siswa perempuan ataupun laki-laki. Dengan begitu, laki-laki dan perempuan akan terampil menggunakan alat-alat teknologi rumah tangga dan mempunyai kemandirian yang tinggi untuk mengurus dirinya sendiri.

Dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia misalnya, kalimat "Tuti memasak di dapur", dapat diubah menjadi "Budi memasak di dapur". Memang usulan bahan ajar yang lebih berkeadilan gender sudah masuk dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) susunan Bappenas. Masalahnya, begitu seorang panelis, bagaimanakah tanggapan di kalangan pendidik sendiri? Bahkan secara ekstrem, kecuali melahirkan dan menyusui, menurut panelis "feminis" tersebut, tak ada lagi perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Pria jangan hanya sharing membuat anak, tetapi juga sharing mengasuh anak.

***

UPAYA meningkatkan kesadaran dan kepekaan gender para guru telah dilakukan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Gadjah Mada, dengan menyampaikan perspektif gender dalam pendidikan, kepada para guru SD, SLTP, dan SMU. Dalam pelatihan diberikan pengertian dan keterampilan guru menganalisis dan memanfaatkan secara benar isi buku pelajaran. Dengan demikian guru diharapkan melakukan sedikit perubahan dalam proses pelaksanaan belajar-mengajar.

Sosialisasi ini dilakukan secara bertahap dan kontinu. Hasilnya cukup berarti. Di berbagai sekolah di kawasan DI Yogyakarta, para guru mulai menyadari telah terjadi bias gender dan mencoba lebih memberikan keadilan gender.

Selain di sekolah, peran orangtua-ibu dan ayah-sangat menentukan dalam hal keadilan gender. Mereka diajak menemukan jawaban apakah pendidikan yang diterapkan pada anak laki-laki dan perempuan sudah menerapkan keadilan gender, apakah anak perempuan diberi kesempatan yang sama dengan anaknya yang laki-laki.

Yang perlu juga ditanamkan pada orangtua barangkali persoalan-persoalan kecil dalam rumah tangga. Misalnya, memberikan pendidikan agar berperan yang sama dalam sektor domestik. Menyapu lantai dan memasak tidak harus dipandang pekerjaan perempuan. Pekerjaan domestik yang diasosiasikan pekerjaan perempuan adalah juga pekerjaan laki-laki. Rumah tangga sebagai lembaga pendidikan kedua selain sekolah, dengan menanamkan penghargaan sama terhadap perempuan dan laki-laki, akan mempercepat pengembangan kehidupan bangsa yang berperspektif keadilan gender. Keadilan gender akan lebih terwujud kalau pada saat yang sama dilakukan di jajaran birokrasi.

Bisa kebablasan, sebab perempuan dan laki-laki dibedakan secara kodrati, komentar seorang peserta (laki-laki). Pertanyaan itu dijawab dengan tangkas, "Nah, bertanya semacam itu pun menunjukkan belum adanya kesadaran gender di kalangan pendidik." Sebaliknya ketika ada peserta seminar menanyakan lebih jauh tentang keadilan gender, secara tangkas pula "sang feminis" dari Yogyakarta itu memuji, "Terima kasih, Anda termasuk sponsor gender."

Mengubah bias gender dalam pendidikan dan dalam masyarakat sehingga lebih berkeadilan gender adalah perjuangan panjang. Perjuangan itu menjadi lebih ringan kalau ditanggalkan perasaan superioritas pria dan anggapan perempuan disubordinasi pria. (top/sts)

Berita dikbud lainnya:

atas