|
|
TEMPO Interaktif
Fuad Hassan:
"Kita Salah, Mereduksi Manusia Menjadi SDM"
THE right man in the right place, tampaknya tak pernah terjadi
pada Departemen Pendidikan Nasional yang dulu bernama Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan itu. Setidaknya itulah kritik Probosutedjo,
pendiri Universitas Mercubuana yang adik Soeharto itu. Indonesia belum
pernah mendapat Menteri Pendidikan yang pas, katanya suatu ketika.
Itukah sebabnya pendidikan kita dibilang ketinggalan dibandingkan
dengan pendidikan di Malaysia, apalagi Singapura?
Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia baru saja berakhir, dan tak ada
usulan kongkret menjadikan dunia pendidikan kita menjadi lebih bermutu. Di
negara yang jumlah penduduknya terbesar keempat di dunia ini, dengan
pendapatan per kapita mendekati negara miskin, dan baru dua tahun
mendapatkan pemerintahan yang menjamin kebebasan berpendapat, soal
meningkatkan kualitas pendidikan memang bukan hanya soal kurikulum dan
guru yang baik. Untuk melihat lebih jernih masalah pendidikan kita,
wartawan TI Nezar Patria mewawancarai mantan Menteri Pendidikan dua
periode di zaman Soeharto: Fuad Hassan.
Tentu, dengan kacamata Probo, Fuad pun termasuk yang "tidak pas" itu.
Bahkan, kalangan yang dekat dengan Fuad menilai bahwa doktor filsafat ini
ternyata tak berbuat apa pun selama dua periode menjadi menteri.Tapi,
dialah sosok menteri yang lebih kurang independen, dekat dengan mahasiswa
sewaktu menjadi rektor UI, dan yang bisa diajak berbincang dengan bebas.
Inilah kutipan wawancara itu.
Benarkah sistem pendidikan sekarang brengsek?
Saya mau tanya, di mana sih brengseknya? Soalnya, sistem kan
cuma pedoman, cuma acuan. Sistem sendiri harus dikelola, harus
dilaksanakan. Jadi yang penting, kita harus menilai apakah pengelolanya
bisa dijadikan andalan atau tidak. Kita bisa bikin sistem permainan,
tapi kalau pemainnya enggak becus apa gunanya.
Saya ambil contoh. Saat ini sedang ramai soal kurikulum dan
lagi-lagi soal sistem. Kalau bicara kurikulum, kita bicara mengenai
penyelenggaraan pelajaran di muka kelas. Bukan abstrak. Misalnya guru.
Coba pikirkan saat ini, guru yang layak mengajar cuma sedikit. (Fuad
lalu mengambil makalah yang memuat data-data guru SD. "Saya suka
akurasi", katanya).
Nah, ini dia, data tentang kondisi guru pada tahun 1999. Di
SLTP, guru yang layak mengajar 54%, swasta 60%. Yang menyedihkan adalah
SD. Guru yang layak mengajar 21,07%, semi layak 74%, dan tidak layak
4,87%. Bagaimana dengan sekolah dasar yang dikembangkan oleh tenaga atau
pengelola seperti itu? Dari angka ini, saya kira, pertama yang harus
kita persoalkan adalah tenaga pengajar. Sekolah dikelola oleh guru-guru
yang tak memenuhi persyaratan, kualifikasinya tak memadai, apa pun
kurikulumnya tak akan berjalan.
Di luar tenaga pengajar?
Kita sering meributkan hal-hal yang dulu sudah sering
ditanggapi. Misalnya, kurikulum kita keberatan beban. Itu bukan cerita
baru. Di tahun 1986, sudah kita rumuskan bahwa. (Fuad membaca buku UU
Sistem Pendidikan Nasional): "Beban kurikulum SD selama ini
berlebihan, terutama sebagaimana tertuang dalam keanekaan mata
pelajaran. Oleh sebab itu perlu pemangkasan yang lebih rasional dan
sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Kelebihan beban dan kelebihan
dosis bertentangan dengan prinsip-prinsip yang berlaku dalam proses
belajar mengajar". Nah, ini masalah ini diulang lagi. Dulu, kurikulum
sudah dirampingkan, kini menjadi gemuk lagi. Soal Ebtanas, sekarang
ribut lagi.
Anda kan pernah mengusulkan Ebtanas dihapus ...
Ya, tapi untuk jenjang pendidikan dasar. Untuk SD, saya kira
cukup diakhiri dengan ujian sekolah yang diselenggarakan secara serempak
di setiap wilayah.
Nah, sekarang ini sering timbul pernyataan yang sok hebat.
Misalnya, kita perlu bongkar total sistem pendidikan. Memangnya
membongkar itu gampang. Sistem pendidikan itu UU, coba saja kalau mau
bongkar.
Ada lagi yang usul revolusi pendidikan. Bagaimana caranya
kalau hal itu diterjemahkan dalam pengaturan pengajaran? Pikiran seperti
ini tak punya landasan, dasar logika, atau wawasan yang jernih. Kalau
sekadar ngawur, panik, tolong jangan diterapkan di dunia pendidikan.
Dunia pendidikan itu perlu ketentraman, bukan pernyataan yang
gagah-gagahan seperti itu.
Yang diutak-atik bukan inti persoalan, melainkan persoalan
sebab-akibat, atau konsekuensi. Misalnya, tenaga pengajar tidak baik,
akibatnya proses belajar mengajar tidak baik. Tapi kita buru-buru bilang
kalau kurikulumnya yang salah.
Jadi, soal tenaga pengajar yang paling jadi masalah …
Begini; tenaga pengajar di bawah perguruan tinggi disebut
guru. di jenjang pendidikan tinggi disebut dosen. Ada lagi tenaga
kependidikan bukan guru, tapi laboran, pustakawan dan lainnya. Yang
paling urgen sekarang adalah peningkatan mutu guru jenjang pendidikan
dasar, yaitu SD dan SLTP.
Banyak gagasan bagus, misalnya Pak Yahya (Menteri Pendidikan
Nasional Yahya Muhaimin), baru-baru ini bilang ia akan minta para guru
untuk menggiatkan pelajaran mengarang. Bagus sekali, karena kegiatan
menulis sangat kurang. Mengarang berarti pada waktu pelajaran
bahasa.
Soalnya, bisa tidak guru mengajarkan pelajaran itu -- cara
membuat karangan, pengantar, isi dan penutupnya. Nah, lagi-lagi soal
guru. Proses belajar mengajar itu kan interaksi antara guru dan murid.
Kalau guru tak bisa menerangkan pelajaran, yang terjadi proses
penjejalan hafalan semata. Tapi kalau guru bisa menerangkan dan murid
bisa menangkap dan mengerti, bukan menghafal, itulah cara
belajar.
Tapi, lembaga yang memproduksi tenaga pendidikan, IKIP misalnya,
sekarang dihilangkan …
Itulah sayangnya. Saya enggak mengerti tujuan IKIP dilebur
menjadi universitas. IKIP itu kan dirancang untuk menghasilkan guru.
Saya tak tahu lembaga mana sekarang yang diandalkan untuk menghasilkan
guru. Terus terang, saya tak setuju dengan peleburan itu. Andaikata pun
ada alasan peleburan itu, saya tetap beranggapan institut keguruan dan
ilmu pendidikan harus dipulihkan posisinya sebagai lembaga penghasil
kependidikan.
Agar guru-guru kita meningkat kualitasnya bagaimana?
Persyaratan menjadi guru harus dipenuhi. Dan mereka yang
lulus dari pendidikan keguruan mau bekerja sebagai guru. Itu saja.
Kenapa masuk lembaga pendidikan keguruan kalau akhirnya jadi
teller di bank? Guru itu tugas panggilan, bukan tempat pelarian.
Bukan karena kemana-mana tak diterima, lalu menjadi guru. Kalau mereka
yang belajar di IKIP merasa minder, pasti ada sebabnya. Dulu,
(di zaman Belanda), yang masuk Kwekschool sama sekali tak merasa
rendah diri.
Mungkin karena sekarang gaji guru tidak layak …
Itu bisa dibalik, yang layak standarnya siapa? Anda jadi
sarjana hukum, bekerja sebagai pegawai negeri, berapa sih standar
gajinya? Tukang pos berapa, dokter di puskesmas berapa?
Orang sering bilang perbaiki dulu gaji guru. Bisa saja itu,
(asal) perbaikan gaji harus diikuti dengan perbaikan mutu. Tapi,
bagaimana kalau (ada guru yang) tidak layak? Seseorang menerima imbalan
sesuai dengan kualifikasinya.
Lalu, bagaimana nasib pendidikan menjelang otonomi daerah?
Lebih sengsara lagi. Di beberapa daerah, guru yang layak
mengajar relatif lebih banyak daripada guru yang tidak layak. Tapi di
daerah lain, kurang tenaga pengajarnya. Tapi saya tak bisa mendahului
karena saya belum tahu bagaimana pelaksanaan otonomi daerah dalam hal
kependidikan. Ada dua kemungkinan, desentralisasi atau dekonsentrasi.
Misalnya, kalau pengelolaan pendidikan didesentralisasi, berarti
pengelolaannya diserahkan kepada daerah.
Lalu, apa artinya muatan lokal dalam kurikulum?
Nah, itu juga tercantum di buku ini: "Kegiatan pendidikan
berdasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional, dan kurikulum
yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan, dan ciri khas
satuan pendidikan yang bersangkutan."
Gampangnya begini. Pertama, tiap-tiap sekolah atau daerah
punya dua lingkungan yang pasti. Lingkungan alam dan lingkungan budaya.
Dalam perkembangannya, ada satu daerah yang menjadi tujuan wisata,
daerah lain tidak. Nah, semua ciri khas daerah ini bisa dijadikan bahan
muatan lokal. Misalnya, kalau di Bali SD mau mengajarkan Elementary
English, boleh saja. Bukan harus tari bali melulu. Jadi, sesuaikan
dengan kebutuhan daerah.
Kalau begitu apa filsafat yang harus diterapkan dalam menyusun
sebuah sistem pendidikan?
Begini. Kita telah salah mereduksi manusia menjadi SDM,
sumberdaya manusia. Manusia itu tak sekadar sumberdaya. Ia juga makhluk
sosial, punya orientasi moral, budi pekerti, dan sebagainya. Kalau dia
direduksi sebagai sumber daya, maka kita berpikir manusia sebagai
potensi kerja saja. Kecenderungan bicara SDM, menjadikan pendidikan
turun menjadi sekadar pencetak tenaga kerja. Tentu saja pendidikan
menyangkut tenaga yang kemudian hari bisa kerja. Tapi tak hanya itu.
Filsafatnya, bagaimana menjadikan pendidikan sebagai jalan menuju
pendewasaan dan kemandirian subyek sebagai warga negara. Karena itu saya
sangat menentang pendapat bahwa pendidikan harus ditujukan untuk
menghasilkan SDM yang menunjang pembangunan.
Memang ada pendidikan yang menjadikan orang siap pakai. Itu
namanya on the job training, pendidikan kerja magang. Saya ambil
contoh, kalau kita mendidik seseorang dalam bidang teknik otomotif, kita
hanya menyiapkan orang yang dapat dilatih oleh industri-industri
otomotif. Kalau mau siap pakai, ya itu tugasnya pabrik. Pendidikan tak
boleh membuat anak tergantung pada siapa yang pakai. Ketergantungan
bukan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah
kemandirian.
atas
|
|