back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long e-Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

TEMPO Interaktif

Fuad Hassan:
"Kita Salah, Mereduksi Manusia Menjadi SDM"

THE right man in the right place, tampaknya tak pernah terjadi pada Departemen Pendidikan Nasional yang dulu bernama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan itu. Setidaknya itulah kritik Probosutedjo, pendiri Universitas Mercubuana yang adik Soeharto itu. Indonesia belum pernah mendapat Menteri Pendidikan yang pas, katanya suatu ketika.

Itukah sebabnya pendidikan kita dibilang ketinggalan dibandingkan dengan pendidikan di Malaysia, apalagi Singapura?

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia baru saja berakhir, dan tak ada usulan kongkret menjadikan dunia pendidikan kita menjadi lebih bermutu. Di negara yang jumlah penduduknya terbesar keempat di dunia ini, dengan pendapatan per kapita mendekati negara miskin, dan baru dua tahun mendapatkan pemerintahan yang menjamin kebebasan berpendapat, soal meningkatkan kualitas pendidikan memang bukan hanya soal kurikulum dan guru yang baik. Untuk melihat lebih jernih masalah pendidikan kita, wartawan TI Nezar Patria mewawancarai mantan Menteri Pendidikan dua periode di zaman Soeharto: Fuad Hassan.

Tentu, dengan kacamata Probo, Fuad pun termasuk yang "tidak pas" itu. Bahkan, kalangan yang dekat dengan Fuad menilai bahwa doktor filsafat ini ternyata tak berbuat apa pun selama dua periode menjadi menteri.Tapi, dialah sosok menteri yang lebih kurang independen, dekat dengan mahasiswa sewaktu menjadi rektor UI, dan yang bisa diajak berbincang dengan bebas. Inilah kutipan wawancara itu.


Benarkah sistem pendidikan sekarang brengsek?

Saya mau tanya, di mana sih brengseknya? Soalnya, sistem kan cuma pedoman, cuma acuan. Sistem sendiri harus dikelola, harus dilaksanakan. Jadi yang penting, kita harus menilai apakah pengelolanya bisa dijadikan andalan atau tidak. Kita bisa bikin sistem permainan, tapi kalau pemainnya enggak becus apa gunanya.
Saya ambil contoh. Saat ini sedang ramai soal kurikulum dan lagi-lagi soal sistem. Kalau bicara kurikulum, kita bicara mengenai penyelenggaraan pelajaran di muka kelas. Bukan abstrak. Misalnya guru. Coba pikirkan saat ini, guru yang layak mengajar cuma sedikit. (Fuad lalu mengambil makalah yang memuat data-data guru SD. "Saya suka akurasi", katanya).
Nah, ini dia, data tentang kondisi guru pada tahun 1999. Di SLTP, guru yang layak mengajar 54%, swasta 60%. Yang menyedihkan adalah SD. Guru yang layak mengajar 21,07%, semi layak 74%, dan tidak layak 4,87%. Bagaimana dengan sekolah dasar yang dikembangkan oleh tenaga atau pengelola seperti itu? Dari angka ini, saya kira, pertama yang harus kita persoalkan adalah tenaga pengajar. Sekolah dikelola oleh guru-guru yang tak memenuhi persyaratan, kualifikasinya tak memadai, apa pun kurikulumnya tak akan berjalan.

Di luar tenaga pengajar?

Kita sering meributkan hal-hal yang dulu sudah sering ditanggapi. Misalnya, kurikulum kita keberatan beban. Itu bukan cerita baru. Di tahun 1986, sudah kita rumuskan bahwa. (Fuad membaca buku UU Sistem Pendidikan Nasional): "Beban kurikulum SD selama ini berlebihan, terutama sebagaimana tertuang dalam keanekaan mata pelajaran. Oleh sebab itu perlu pemangkasan yang lebih rasional dan sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Kelebihan beban dan kelebihan dosis bertentangan dengan prinsip-prinsip yang berlaku dalam proses belajar mengajar". Nah, ini masalah ini diulang lagi. Dulu, kurikulum sudah dirampingkan, kini menjadi gemuk lagi. Soal Ebtanas, sekarang ribut lagi.

Anda kan pernah mengusulkan Ebtanas dihapus ...

Ya, tapi untuk jenjang pendidikan dasar. Untuk SD, saya kira cukup diakhiri dengan ujian sekolah yang diselenggarakan secara serempak di setiap wilayah.
Nah, sekarang ini sering timbul pernyataan yang sok hebat. Misalnya, kita perlu bongkar total sistem pendidikan. Memangnya membongkar itu gampang. Sistem pendidikan itu UU, coba saja kalau mau bongkar.
Ada lagi yang usul revolusi pendidikan. Bagaimana caranya kalau hal itu diterjemahkan dalam pengaturan pengajaran? Pikiran seperti ini tak punya landasan, dasar logika, atau wawasan yang jernih. Kalau sekadar ngawur, panik, tolong jangan diterapkan di dunia pendidikan. Dunia pendidikan itu perlu ketentraman, bukan pernyataan yang gagah-gagahan seperti itu.
Yang diutak-atik bukan inti persoalan, melainkan persoalan sebab-akibat, atau konsekuensi. Misalnya, tenaga pengajar tidak baik, akibatnya proses belajar mengajar tidak baik. Tapi kita buru-buru bilang kalau kurikulumnya yang salah.

Jadi, soal tenaga pengajar yang paling jadi masalah …

Begini; tenaga pengajar di bawah perguruan tinggi disebut guru. di jenjang pendidikan tinggi disebut dosen. Ada lagi tenaga kependidikan bukan guru, tapi laboran, pustakawan dan lainnya. Yang paling urgen sekarang adalah peningkatan mutu guru jenjang pendidikan dasar, yaitu SD dan SLTP.
Banyak gagasan bagus, misalnya Pak Yahya (Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin), baru-baru ini bilang ia akan minta para guru untuk menggiatkan pelajaran mengarang. Bagus sekali, karena kegiatan menulis sangat kurang. Mengarang berarti pada waktu pelajaran bahasa.
Soalnya, bisa tidak guru mengajarkan pelajaran itu -- cara membuat karangan, pengantar, isi dan penutupnya. Nah, lagi-lagi soal guru. Proses belajar mengajar itu kan interaksi antara guru dan murid. Kalau guru tak bisa menerangkan pelajaran, yang terjadi proses penjejalan hafalan semata. Tapi kalau guru bisa menerangkan dan murid bisa menangkap dan mengerti, bukan menghafal, itulah cara belajar.

Tapi, lembaga yang memproduksi tenaga pendidikan, IKIP misalnya, sekarang dihilangkan …

Itulah sayangnya. Saya enggak mengerti tujuan IKIP dilebur menjadi universitas. IKIP itu kan dirancang untuk menghasilkan guru. Saya tak tahu lembaga mana sekarang yang diandalkan untuk menghasilkan guru. Terus terang, saya tak setuju dengan peleburan itu. Andaikata pun ada alasan peleburan itu, saya tetap beranggapan institut keguruan dan ilmu pendidikan harus dipulihkan posisinya sebagai lembaga penghasil kependidikan.

Agar guru-guru kita meningkat kualitasnya bagaimana?

Persyaratan menjadi guru harus dipenuhi. Dan mereka yang lulus dari pendidikan keguruan mau bekerja sebagai guru. Itu saja. Kenapa masuk lembaga pendidikan keguruan kalau akhirnya jadi teller di bank? Guru itu tugas panggilan, bukan tempat pelarian. Bukan karena kemana-mana tak diterima, lalu menjadi guru. Kalau mereka yang belajar di IKIP merasa minder, pasti ada sebabnya. Dulu, (di zaman Belanda), yang masuk Kwekschool sama sekali tak merasa rendah diri.

Mungkin karena sekarang gaji guru tidak layak …

Itu bisa dibalik, yang layak standarnya siapa? Anda jadi sarjana hukum, bekerja sebagai pegawai negeri, berapa sih standar gajinya? Tukang pos berapa, dokter di puskesmas berapa?
Orang sering bilang perbaiki dulu gaji guru. Bisa saja itu, (asal) perbaikan gaji harus diikuti dengan perbaikan mutu. Tapi, bagaimana kalau (ada guru yang) tidak layak? Seseorang menerima imbalan sesuai dengan kualifikasinya.

Lalu, bagaimana nasib pendidikan menjelang otonomi daerah?

Lebih sengsara lagi. Di beberapa daerah, guru yang layak mengajar relatif lebih banyak daripada guru yang tidak layak. Tapi di daerah lain, kurang tenaga pengajarnya. Tapi saya tak bisa mendahului karena saya belum tahu bagaimana pelaksanaan otonomi daerah dalam hal kependidikan. Ada dua kemungkinan, desentralisasi atau dekonsentrasi. Misalnya, kalau pengelolaan pendidikan didesentralisasi, berarti pengelolaannya diserahkan kepada daerah.

Lalu, apa artinya muatan lokal dalam kurikulum?

Nah, itu juga tercantum di buku ini: "Kegiatan pendidikan berdasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional, dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan, dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan."
Gampangnya begini. Pertama, tiap-tiap sekolah atau daerah punya dua lingkungan yang pasti. Lingkungan alam dan lingkungan budaya. Dalam perkembangannya, ada satu daerah yang menjadi tujuan wisata, daerah lain tidak. Nah, semua ciri khas daerah ini bisa dijadikan bahan muatan lokal. Misalnya, kalau di Bali SD mau mengajarkan Elementary English, boleh saja. Bukan harus tari bali melulu. Jadi, sesuaikan dengan kebutuhan daerah.

Kalau begitu apa filsafat yang harus diterapkan dalam menyusun sebuah sistem pendidikan?

Begini. Kita telah salah mereduksi manusia menjadi SDM, sumberdaya manusia. Manusia itu tak sekadar sumberdaya. Ia juga makhluk sosial, punya orientasi moral, budi pekerti, dan sebagainya. Kalau dia direduksi sebagai sumber daya, maka kita berpikir manusia sebagai potensi kerja saja. Kecenderungan bicara SDM, menjadikan pendidikan turun menjadi sekadar pencetak tenaga kerja. Tentu saja pendidikan menyangkut tenaga yang kemudian hari bisa kerja. Tapi tak hanya itu. Filsafatnya, bagaimana menjadikan pendidikan sebagai jalan menuju pendewasaan dan kemandirian subyek sebagai warga negara. Karena itu saya sangat menentang pendapat bahwa pendidikan harus ditujukan untuk menghasilkan SDM yang menunjang pembangunan.
Memang ada pendidikan yang menjadikan orang siap pakai. Itu namanya on the job training, pendidikan kerja magang. Saya ambil contoh, kalau kita mendidik seseorang dalam bidang teknik otomotif, kita hanya menyiapkan orang yang dapat dilatih oleh industri-industri otomotif. Kalau mau siap pakai, ya itu tugasnya pabrik. Pendidikan tak boleh membuat anak tergantung pada siapa yang pakai. Ketergantungan bukan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah kemandirian.

atas