back
Serambi KAMPUS https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

R. Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

KOMPAS
OPINI - Senin, 11 September 00

Suara Hati Seorang Pengajar
Oleh Felicia Nuradi-Utorodewo

KASUS mahasiswa Universitas Indonesia (UI) mogok kuliah berjalan dua hari (28-29/8). Perkuliahan yang seharusnya sudah dimulai, tertunda. Meski staf pengajar, karyawan, dan mahasiswa dapat masuk kampus, kegiatan perkuliahan lumpuh. Gerbang masuk kampus UI Depok menyerupai sarang laba-laba dari tali rafia. Kampus yang biasanya teduh, penuh spanduk dan baliho. Jalan-jalan di lingkungan kampus penuh sampah kertas dan botol plastik.

Pembicaraan yang diadakan di Departemen Pendidikan Nasional (25/8) berakhir tanpa kesepakatan. Apakah janji Menteri dan Dirjen Pendidikan Tinggi tidak dapat menenangkan mahasiswa? Tidak dapatkah para pandai-cendekia membahas masalah mereka dengan kepala dingin, secara arif bijaksana, dan rasional? Jika tidak, siapa lagi yang dapat kita harapkan berpikir untuk negeri ini?

Pertanyaan itu memenuhi benak sebagian besar pengajar di lingkungan UI saat sampai di pintu gerbang kampus. Pengajar merasa sebagai pengamat yang tidak dilibatkan dengan masalah ini. Kebijakan penerapan Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) adalah keputusan yang diberlakukan pimpinan melalui Rapat Senat Universitas.

Meski terasa berat, dapat dipahami tindakan pimpinan untuk memberlakukan keputusan itu. Hal itu berkait dengan otonomisasi UI. Tanpa otonomisasi, UI akan berjalan di tempat dan tertinggal dalam perkembangan akademis dan riset. Namun, otonomisasi kampus berkonsekuensi pada meningkatnya kebutuhan dana.

Sebaliknya, keberatan mahasiswa bukan hal yang harus diabaikan. Sebagian mahasiswa UI, terutama mahasiswa Fakultas Sastra, MIPA, Kesehatan Masyarakat, berasal dari keluarga tidak mampu. Keresahan mereka patut dimaklumi dan diberi perhatian. Di lain pihak, sebenarnya, pihak rektorat memberi keringanan bagi yang tidak mampu berupa rentang waktu pembayaran dan keringanan.

Staf pengajar dan karyawan terhimpit di tengah, antara pimpinan universitas, di satu pihak, dan mahasiswa, di lain pihak. Mereka tidak dapat melaksanakan kegiatan, baik kegiatan pengajaran maupun kegiatan rutin lainnya. FMIPA membatalkan seminar yang mengundang pihak luar.

Pelaksanaan ujian bagi peserta Program Pascasarjana morat-marit. Masih untung bagi UI, ada pihak universitas swasta yang bersedia menampung penyelenggaraan ujian S-2 itu, tanpa menuntut bayaran. Mahasiswa baru terpaksa menunda keingintahuan mereka akan dunia kemahasiswaan. Tanpa mereka ketahui secara jelas letak permasalahannya.

Namun, pemogokan yang dilakukan mahasiswa juga bukan solusi terbaik. Cara-cara yang ampuh dan efektif bagi kaum buruh tidak berlaku sama bagi mahasiswa. Dalam hal ini, mahasiswa mengalami kerugian karena mereka tidak akan memperoleh nilai. Dengan demikian, pada akhirnya, mereka akan putus kuliah. Sementara, universitas akan terus berjalan dan berfungsi sebagaimana seharusnya.

Staf pengajar yang bersimpati pada pandangan mahasiswa tidak diberi kesempatan membela mahasiswa. Pemogokan mereka lakukan tanpa berkonsultasi dengan staf pengajar. Mereka berpusat pada diri sendiri (S1), tanpa memikirkan nasib mahasiswa SO (Diploma), S2, S3, dan mahasiswa ekstension. Bagaimana nasib mahasiswa S3 yang akan promosi pada minggu ini?

Alangkah sedihnya, jika jawaban yang diperoleh dari kedua pihak yang bertikai adalah "Kita tidak mau tahu." DPKP tidak perlu dihapus, tetapi mungkin perlu dikomunikasikan secara lebih baik. Mahasiswa perlu mengutarakan pikiran mereka, tetapi harus dapat berbicara secara terarah dan logis. Jika kedua pihak mengambil sikap "biarkan saja" atau "tidak mau tahu", berarti sifat utama seorang cendekia, yaitu "kepedulian sosial yang tinggi", tidak dihayati keduanya. Keterbukaan yang bersifat dialogis, juga terabaikan. Akan ke mana UI?

***

APA yang sedang diperjuangkan mahasiswa? Sekadar penghapusan DPKP ataukah hak untuk memperoleh pendidikan? Tindakan mereka untuk memperoleh keadilan menghalangi orang lain memperoleh bagian dari keadilan mereka. Lebih jauh lagi, tindakan mereka merugikan diri sendiri.

Semester ini merupakan semester yang amat pendek, karena Hari Natal dan Lebaran jatuh pada minggu yang sama. Akibatnya, waktu kuliah yang efektif hanya kurang dari 16 minggu termasuk ujian tengah dan akhir semester. Artinya, hanya 12 minggu masa perkuliahan. Itupun jika kuliah diawali 28 Agustus. Dengan pemogokan ini, masa kuliah akan lebih pendek lagi. Itukah yang diinginkan mahasiswa? Sayang, jika perjuangan yang bermaksud baik itu menjadi bumerang yang merugikan mahasiswa sendiri.

Dengan pemogokan ini, staf pengajar berhadapan dengan situasi simalakama. Jika dianggap kuliah sudah berjalan, ada mahasiswa yang dianggap absen, tidak menghadiri kuliah. Sulit bagi pengajar untuk membela mahasiswa yang tidak pernah hadir dalam kelas mereka atau yang tidak memasukkan tugas.

Jika kuliah ditunda, pengajar tidak akan mampu melaksanakan kegiatan pengajaran sesuai satuan acara perkuliahannya. Jika kuliah dipaksakan, mahasiswa akan mengalami kesulitan mengendapkan ilmu yang diperolehnya. Hal ini sudah terbukti pada saat di kampus terjadi kegiatan reformasi (1998).

Ada solusi yang mungkin dapat dilaksanakan bersama. Dalam hal ini, pengajar dapat membantu dan menunjukkan simpati kepada mahasiswa yang berjuang. Jalankan saja perkuliahan. Bukankah mahasiswa yang sudah membayar berhak mendapatkan kuliah? Namun, baik mahasiswa yang sudah maupun yang belum membayar DPKP dapat turut masuk dan duduk dalam ruang kuliah mengikuti perkuliahan. Bukankah mereka sudah memiliki kartu mahasiswa?

Jalankan saja semua kuliah, tugas, dan ujian. Para pengajar wajib menyertakan mereka dalam kuliah dan memberi nilai pada tugas mahasiswa bersangkutan. Jika ada masalah dalam isian rencana studi dan perolehan nilai, para pengajar dapat membela mahasiswa dengan menunjukkan kerajinan dan kualitas mahasiswa selama satu semester.

Bahkan berdasarkan perolehan indeks prestasi mahasiswa di akhir semester, pengajar dan fakultas dapat memperjuangkan mahasiswa yang bersangkutan untuk memperoleh beasiswa. Dengan demikian, ada jalan keluar yang tidak akan merugikan mahasiswa dan tidak menyulitkan pengajar dan karyawan. Selain itu, pihak pimpinan universitas dapat memikirkan kembali jalan keluar terbaik bagi permasalahan ini.

Sebaiknya, mahasiswa UI juga memandang teman-teman lain yang tidak diterima di UI, yang kuliah di perguruan tinggi swasta, bahkan teman-teman yang kehilangan kesempatan kuliah. Rasanya, pemogokan ini menjadi cengeng dan egoistis. Education is luxury. Kita harus menyadari, pendidikan memang mahal dan untuk mencapai hal terbaik diperlukan tirakat dan pengorbanan. Kini, kita telah mengorbankan waktu kuliah. Tidak perlu lagi kita berkorban berpanjang-panjang.

Kami, para pengajar, prihatin terhadap pendidikan anak bangsa kita. Tanpa kerja sama yang baik di antara civitas academica UI, kita tidak akan memperoleh jalan keluar yang memuaskan semua pihak.

* Felicia Nuradi-Utorodewo, pengajar di Universitas Indonesia.

Berita opini lainnya:

atas