back
Serambi MADURA https://zkarnain.tripod.com/
Internet Based Life-long Learning Environment
for Maintaining Professional Vitality

Webmaster

Iskandar Zulkarnain
Chief Executive Editor

Informasi

PadepokanVirtual

URL

http://w3.to/padepokan
http://welcome.to/madura
http://travel.to/kampus

Surabaya Post
Kamis, 02 Maret 2000

Derita Para Pengungsi Sambas
Mandi Pun Cukup Sekali Seminggu

PEREMPUAN muda itu berdiri tegak di depan pintu rumahnya. Matanya menyorotkan harapan. Harapan untuk kembali ke kampung halamannya, Sambas di mana ia dilahirkan.

Sementara di dalam rumah, putri semata wayangnya tidur lelap terayun dibuai ayunan sederhana. Sebuah selendang kusam dikaitkan dengan sebuah tali yang diikat di balok rumah.
Sudah setahun ini, Linda, perempuan muda ini mengungsi di Madura. Darah Maduranyalah yang membawanya mengungsi ke Pulau Garam, kala kerusuhan berbau SARA menimpa kampungnya di Kalimantan. Berpuluh hektare tanah yang ditanami karet dan kelapa sawit harus ditinggalkan. Hal yang sama juga dialami oleh Munawaroh dan Burhan.
"Waktu melarikan diri itu saya masih mengandung 4 bulan. Kini anak saya sudah berusia 8 bulan," ujarnya membuka percakapan dengan Surabaya Post yang mengunjunginya Sabtu, (26/2) di rumahnya.
Mungkin Linda termasuk ibu yang beruntung dapat menjaga kesehatan kandungannya selama di pengungsian, meski faktor psikis dan kesehatan lingkungan selama di pengungsian, tidak memadai. Ada beberapa pengungsi kehilangan bayi dalam kandungannya.
"Adiknya Pak Burhan, Zubaidah sempat keguguran di sini dan saat itu usia kandungannya sama dengan saya, kalau di tempat lain saya tidak tahu. Saya bersyukur masih dapat melahirkan," kata Linda yang ditampung Pemda Bangkalan di Desa Katol Timur, Kec. Geger.
Sebetulnya, cukup mudah untuk mencapai kampung pengungsi ini, sekitar 44 km dari Kamal atau sekitar 24 km dari Bangkalan. Cukup sebut kampung pengungsi Sambas, semua orang sudah tahu. Pemda Bangkalan sendiri, menampung para pengungsi di beberapa kecamatan, seperti di Galis, Blegah, Tanah Merah, Arusbaya, Klampis, serta desa Kelbung.
Kendati dekat dengan kota, namun transportasi yang tersedia hanya sebuah angkutan umum dan harus oper dua kali. Itupun harus rela melewati beberapa bagian jalan yang cukup membuat leher sakit dan perut terkocok karena buruknya jalan.
Linda beserta 15 KK yang lain mungkin termasuk yang beruntung, karena mantan Bidan desa ini bisa menempati sepetak kamar berdinding batako berukuran 3x4 yang berada di tepi jalan.
Meski hanya berlantai tanah, rumah itu merupakan bantuan Bupati Bangkalan. Sedangkan sisa pengungsi lain ditempatkan agak ke dalam. Cukup lumayan dari jalan, dan dindingnya masih berupa gedhek.
"Kalau hujan sibuk cari tempat yang nggak tampes dan kalau disapu lantainya berubah menjadi pasir halus karena campuran semennya hanya sedikit. Dan bila malam harus siap-siap, sebab biasanya binatang malam seperti kodok dan tikus, kadang juga ular masuk ke rumah," katanya.
Dari pengamatan Surabaya Post, kondisi yang tidak memadai dari kampung pengungsi adalah kurangnya persediaan air bersih. Sehingga mereka mandi, cuci, dan kakus di sungai yang terletak di depan rumah.
Mereka sengaja melakukan hal ini karena selain tiadanya air, kamar mandinya juga jauh dari sehat. Kamar mandi tersebut menjadi satu dengan kakus. Namun karena isinya penuh maka tumpah keluar. Sementara kakus yang ada, juga cukup sederhana bahkan mungkin tidak layak untuk digunakan.
Kakus itu hanya berupa tanah yang digali dan di atasnya cukup dibuat tempat pijakan kaki dari semen. Baru membuka pintunya saja, bau yang cukup menyengat sudah tercium karena kakus tersebut sudah penuh. Karena penuh itulah para pengungsi ini kalau buang hajat akhirnya memilih di sungai.
Mandi, cuci dan kakus di sungai merupakan jalan keluar, meski tanpa ada penutup, mereka tetap mandi di sungai. "Nggak ada penutupnya, hanya itu saja semak-semak," ujar Burhan sambil menunjuk sungai.
Kondisi darurat ini, mau tidak mau harus diterima para pengungsi. Padahal hal ini belum pernah dialami di kampung asalnya. Kebanyakan dari mereka adalah orang kaya pemilik perkebunan karet dan kelapa sawit. "Saya punya 20 borong tanah atau sekitar 4 hektare. Semuanya saya tanami karet," kata Burhan.
Kalau tidak ada air, lantas airnya ngambil dari mana? "Dari sungai dan sumber," jawab Burhan singkat.
Tanah di sekitar sungai tersebut memang banyak cekungan. Cekungan tersebut untuk mengambil air resapan sungai. Bila sudah jernih, maka airnya bisa diciduk. "Kalau musim hujan kami tidak perlu ambil air di sungai itu, tapi dari sumber atau sumur. Sebab, kalau musim hujan sumber atau sumur tidak kering," kata Burhan (37), kelahiran Singkawang, tetangga Linda.
Bagaimana dengan bantuan air bersih dari Pemda setempat? Menurut Burhan saat ini air bersih masih belum tersedia dan baru dipasang Minggu (27/2). Di setiap rumah pengungsi memang tidak ada yang menyediakan air bersih, hanya kompleks rumah Burhan dan Linda saja yang terlihat sudah ada tong air fiberglass berwarna oranye. Itu pun masih belum ada airnya sama sekali.
Menurut Linda bila air sungai menyusut dan berubah menjadi hijau, maka tidak mandi hingga satu minggu bisa terlaksana. "Sebenarnya sekitar 2 km dari sini ada sumber air yang cukup bagus. Tapi karena jauh dan selalu antre mulai pukul 2 siang hingga Subuh, belum lagi kalau rebutan dengan penduduk setempat, kami jadi enggan," katanya.
Meski air sungai berubah hijau, mereka tetap menggunakan airnya. Yang paling menyedihkan adalah air tersebut juga digunakan oleh pengungsi perempuan untuk mencuci dan membersihkan kemaluannya ketika haid.
"Ya bagaimana lagi wong tidak ada air, tapi untungnya di sini ada pembalut dan nggak susah carinya," ujar salah seorang perempuan lain tetangga Linda.
Ironisnya hal ini juga dialami oleh anak-anak dan balita. Seperti yang dialami Hanafi (8 bulan) putra Fatimah salah seorang pengungsi yang ditemui Surabaya Post di Kantor Transmigrasi Bangkalan, ketika sedang mengikuti pembekalan pendidikan bagi para pengungsi. Hal serupa banyak juga yang dialami oleh beberapa anak-anak tetangga Linda.
Yang menyedihkan lagi adalah jatah beras yang diberikan oleh Depsos sudah lama terhenti. Jatah beras yang dulu 6 kg hanya bertahan sekitar 70 hari saja. "Saya bekerja serabutan. Suami saya dulu bekerja sebagai mandor bangunan rumah pengungsi ini. Sekarang kerja di kelurahan sebagai penjaga dan bersih-bersih. Dari kerjaannya itu Pak Lurah dan orang sekitar memberi uang," katanya.
"Semoga situasi di sana segera membaik dan kami semua bisa segera pulang," tambah Burhan penuh harap. (Rumpaka Hadi)

atas